BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kecacatan
adalah berkurangnya suatu sistem atau disfungsi karena adanya
kelainan/kehilangan di bagian tubuh seseorang yang secara objektif bisa dilihat
maupun diukur. Misalnya tidak adanya tangan,
kelumpuhan pada bagian tubuh
tertentu. Kecacatan ini bisa dialami pada seseorang yang bisa menimbulkan
perilaku-perilaku yang berbeda dari individu yang lainnya, misalnya kerusakan
pada otak yang menjadikan seseorang mengalami cacat mental, hiperkatif, buta,
dan lain-lain (Mangunsong, 1998). Menurut
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan
yang menyulitkan dalam berpartisipasi penuh.
Kelompok kami mengambil pokok bahasan kebutaan
atau tunanetra. Tunanetra
merupakan kelainan dalam indera penglihatan seseorang sehingga tidak bisa
melihat yang menghambat dalam menerima informasi. Sardegna (2002) menjelaskan
bahwa tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera
penglihatannya tidak berfungsi seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi
dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra
juga memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu tunanetra tidak
memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya
yang dilakukan oleh individu awas. Keterbatasan tersebut dimungkinkan
menghambat tugas-tugas perkembangannya.
BAB II
ANALISA MASALAH
A. Gambaran
Kondisi Kesakitan
Tunanetra merupakan individu yang mengalami suatu kerusakan pada bagian
mata yang mengakibatkan individu tersebut mengalami keterbatasan dalam fungsi
penglihatan. Kerusakan pada bagian mata ini seperti pada bagian bola mata,
retina, kornea atau pada syaraf-syaraf penglihatan. Kerusakan pada salah satu
bagian mata ini mengakibatkan individu kehilangan fungsi penglihatan
sepenuhnya. Karakteristik tunanetra menurut Tilman (1969) adalah memiliki tubuh
yang baik tapi mengalami kelainan indera penglihatan yang kurang, kesulitan
dalam menguasai keterampilan sosial dalam umpan balik melalui penglihatan. Secara
fisik seseorang tunanetra bisa dilihat dari kondisi mata yang berbeda dari
orang yang normal lainnya, mempunyai kepekaan pendengaran dan perabaan yang
baik, sikap tubuh yang kurang sigap, agak kaku, dan sering memiliki perilaku
stereotype seperti suka menggosok-gosok mata atau suka menghentak-hentakan
kaki. Menurut Rogow dalam Hadi (2005) menyatakan bahwa seseorang tunanetra
memiliki kesulitan gerak seperti koordinasi yang buruk terhadap keseimbangan
postur tubuh yang buruk, kondisi otot-otot dalam menstimulus, dan lambatnya
bergerak dan gerak yang buruk. Jadi para penyandang tunanetra memiliki kondisi
kesakitan yang jauh lebih parah karena diasingkan oleh orang lain karena
berbeda dari yang lainnya.
B. Teori Perilaku Yang
Mendukung Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang kehilangan
penglihatan karena kedua indera penglihatannya tidak berfungsi seperti orang
awas. Tunanetra dibagi menjadi dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision.
Pada umumnya individu tunanetra juga memiliki hambatan dalam menerima
informasi. Individu tunanetra tidak memiliki kendali yang sama terhadap
lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh individu awas.
(Harimukthi, 2014). Sedangkan menurut WHO tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki
sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatnnya.
Teori
yang mendukung perilaku atau gaya hidup seseorang yang mendukung penderita
tunanetra adalah teori H.L Blum yang menyebutkan bahwa status derajat kesehatan
masyarakat seseorang setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu gaya hidup, faktor lingkungan, faktor genetik
dan faktor pelayanan kesehatan.
Menurut
(Ardhi, 2013) terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya tuna netra yang termasuk dalam faktor genetik,
antara lain:
1. Faktor
Pre-natal
Pada faktor ini sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan
pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa,
penyakit pada retina yang umumnya adalah
keturunan. Penyakit seperti ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau
memburuknya retina. Ketunanetraan pada waktu pre-natal juga dapat disebabkan
oleh: Gangguan waktu hamil, penyakit menahun seperti TBC, yang dapat merusak
sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan. Infeksi karena
terkena rubella atau cacar air, juga dapat menyebabkan kerusakan pada mata
janin.
2. Faktor
Post-natal
Kerusakan yang terjadi pada mata
atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda
keras. Namun hal ini juga dapat terjadi apabila ibu memiliki penyakit
gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe dapat menular pada bayi, yang pada
akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya lihat.
Ketunanetraan pada saat post-natal juga dapat disebabkan antara lain:
A. Xeropthalmia:
yaitu penyakit mata yang disebabkan oleh kekurangan vitamin A.
B. Trachoma:
yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
C. Catarac : penyakit mata yang menyerang bola mata
sehingga mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.
D. Glaucoma:
bertambahnya cairan dalam bola mata.
E. Diabetik
retinopathy : gangguan yang terjadi pada retina karena diabetes.
F. Macular
degeneration : keadaan dimana retina yang baik
semakin memburuk.
G. Kecelakaan : masuknya benda tajam atau bahan kimia kedalam
mata.
Salah satu faktor gaya hidup yang mendukung terjadinya
tunanetra adalah salah satu perilaku sering
meminum minuman keras yang berlebihan. Karena setelah dilakukan penilitian
dalam minuman keras oplosan mengandung senyawa Metanol. Menurut Dokter Ahli Mata (Perdami) RSUD Dr Sardjito
Yogyakarta “keracunan metanol sangat berbahaya karena jika Metanol masuk ke dalam tubuh akan langsung menjadi racun atau asam
format. Selain mengganggu sistem tubuh, dalam beberapa jam Metanol langsung meracuni syaraf mata. Kandungan senyawa yang
terdapat dalam minuman keras oplosan anatarnaya yaitu, Metanol dan bahkan ada yang dicampur obat nyamuk atau obat serangga
kemasan, bahkan ada yang dicampur serbuk arang hitam yang biasanya terdapat dalam
batre (Harimukthi, 2014).
a.
Klasifikasi
Tunanetra Berdasarkan Daya Penglihatan
Menurut (Ardhi, 2013) berdasarkan daya pnglihatan tuna netra
terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Tunanetra ringan
(defective vision/low vision): yakni mereka yang memiliki hambatan penglihatan
namun masih dapat mengikuti program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/
kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah
Berat (partialy sighted): yaitu mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, mereka mampu membaca dan mengikuti pembelajaran apabila
menggunakan kacamata pembesar atau mampu
membaca tulisan yang di cetak tebal.
3. Tunanetra berat
(totally blind): yakni mereka yang sama sekali
tidak
mampu melihat.
C. Kondisi
Psikologis Penderita
Permasalahan
utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra terkait dengan
ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup,
diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain. Dampak lain dari
hilangnya penglihatan pada individu dewasa awal adalah perasaan kehilangan
kemampuan untuk mengikuti aturan sosial yang berlaku di masyarakat (Crews &
Campbell, 2004). Ketakutan menghadapi kehidupan masa depan berkaitan dengan
ketersediaan lapangan pekerjaan. Selama ini tunanetra di Indonesia banyak
kehilangan hak-haknya. Hak yang hilang berupa hak menggunakan alat transportasi
umum, hak memperoleh informasi, dan hak memperoleh pekerjaan (Medan Bisnis,
2011).
Para
penyandang tunanetra menunjukkan penurunan kesejahteraan psikologis yang secara
spesifik berkaitan dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal relasi sosialnya
dan penerimaan dukungan sosial (Mclivane & Reinhardt, 2001; Pinquart &
Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka cenderung mengalami stres lebih tinggi,
tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah, kesehatan mental dan kendali
akan kesejahteraan psikologis yang menurun (Gardner & Harmon, 2002). Bahkan
apabila dibandingkan dengan populasi normal, para penyandang tunanetra
cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang
lebih rendah. Diungkapkan pada studi yang sama, pada populasi tunanetra di
Eropa, terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam
menurunkan kesejahteraan individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005),
sedangkan perbandingan antara populasi tunanetra bawaan (congenital blind) dan
tunanetra setelah dewasa (late blind) dijelaskan bahwa kesejahteraan psikologis
dan resiliensi late blind cenderung lebih rendah (Zeeshan & Aslam, 2013).
Padahal, Mills (2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi
yang dialami individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena
memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang
lebih baik, memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan
menggambarkan kualitas hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).
Ryff
(dalam Papalia & Feldman, 2002) menyebutkan ada enam dimensi kesejahteraan,
yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain
(positive relationship with others), kemandirian (autonomy), penguasaan
lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan
pertumbuhan personal (personal growth). Konstruk psychological well-being
disusun berdasarkan teori perkembangan sepanjang hidup, yang berarti bahwa
kondisi kesejahteraan psikologis individu bersifat dinamis (Ryff dalam Diener
dkk, 2009). Pengalaman dalam kehidupan yang beragam dan unik akan memberikan
pengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis secara terus-menerus.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman dalam kehidupan pasca
menjadi tunanetra juga akan berpengaruh pada kondisi kesejahteraan psikologis.
Penelitian Halim dan Wirawan (2009) mengungkapkan hasil bahwa individu yang
menderita penyakit kronis dan menjalani operasi serta pengobatan hingga
kehilangan salah satu fungsi tubuh di usia dewasa akan memiliki peningkatan
dalam pemahaman kesejahteraan psikologis. Keterbatasan fisik yang dimiliki
individu akan meningkatkan kondisi kesejahteraan psikologis karena perubahan
fungsi fisik berbanding lurus dengan peningkatan keyakinan terhadap Tuhan.
Perubahan kondisi fisik mengubah pola pikir individu yang umumnya menjadi lebih
positif dan memahami kondisi fisik yang sekarang, sehingga tingkat
kesejahteraan psikologis individu menjadi tinggi dan meningkat. Selain itu,
Zhong dkk (2013) mengungkapkan bahwa penyandang tunanetra dewasa yang berusaha
mencari tujuan dan makna hidupnya, serta lebih memiliki keyakinan dan
partisipasi religius cenderung lebih sejahtera dan mampu mengatasi depresinya.
D. Pengelolaan
Penyakit
Pengelolaan
penyakit :
1. Karakteristik
Kognitif
Ketunanetraan
secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang
bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif,
dengan mengidentifikasi keterbatasan
yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:
a.
Tingkat dan
keanekaragaman pengalaman. Ketika seorang anak
mengalami ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih
berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi bagaimanapun
indera-indera tersebut tidak dapat secara cepat dan menyeluruh dalam memperoleh
informasi, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang yang sebenarnya bisa
diperoleh dengan segera melalui penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan,
ketika mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke
kesuluruhan, dan orang tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama
dia melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh
(misalnya bintang, dan sebagainya), terlalu besar (misalnya gunung, dan sebagainya),
terlalu rapuh (misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau membahayakan
(misalnya api, dan sebagainya) untuk
diteliti dengan perabaan.
b.
Kemampuan untuk berpindah tempat.
Penglihatan
memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi
tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan
tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang lainnya, anak
tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu
lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.Interaksi
dengan lingkungan. Jika anda berada di suatu tempat yang ramai, anda dengan
segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orang-orang disekitar,
dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut. Orang tunanetra
tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang
dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tetap tidak utuh.
2. Karakteristik
Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya
terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan
keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai
contoh, ketika anda membaca atau menulis anda tidak perlu memperhatikan secara
rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa
dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak seperti
itu sebagai gantinya mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk
membaca dan menulis, sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan braille atau huruf
cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang
sesuai, anak tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan kemampuan
membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
3. Karakteristik
Sosial dan Emosional
Bayangkan keterampilan sosial yang
biasa anda lakukan sehari-hari sekarang ini. Apakah seseorang mengajarkan
kepada anda bagaimana anda harus melihat
kepada lawan bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain, bagaimana
anda menggerakan tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, atau bagaimana
anda melakukan ekspresi wajah ketika melakukankomunikasi nonverbal?
Dalam hal seperti itu mungkin
jawabannya tidak. Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi
terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya
dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta
masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunanetra
sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tunanetra
harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang
pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan
postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan
benar, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu
melakukan komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.
4. Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak
menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun
demikian hal tersebut berpengaruh pada
perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan
kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk
membantunya. Apabila hal ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku
pasif.
Beberapa siswa tunanetra sering
menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak
semestinya. Sebagai contoh mereka sering menekan matanya, membuat suara dengan
jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada
beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan
perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya
rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta
keterbatasan sosial.
Biasanya para ahli mencoba
mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka
memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu,
misalnya memberikan pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih
positif, dan sebagainya.
5. Pembelajaran
bagi Anak dengan Ketunanetraan
Pembelajaran yang terbaik bagi
siswa tunanetra adalah yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana
pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia. Pembelajaran
khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan,
prinsip-prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana
pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan.
Pembelajaran dalam kurikulum Inti
yang Diperluas. Para ahli mengemukakan, bahwa tunanetra mempunyai dua perangkat
kebutuhan kurikulum: pertama adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada
umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; keduaadalah yang dapat
memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya yaitu
kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan kompensatoris,
keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir. Para ahli
pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang memberikan bantuan dan
mengajar siswa dalam setting inklusi, mungkin akan dihadapkan dengan dilema apa
yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan
langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk mendukung
keberhasilannya berada di sekolah umum.
6. Mempergunakan
Prinsip-prinsip Metoda Khusus.
Siswa tunanetra hendaknya diberikan
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus bagi mereka. Guru umum
biasanya lebih menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu
tidak sesuai dengan tunanetra. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda
khusus untuk membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan:
a.
Membutuhkan Pengalaman Nyata.
Guru
perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya
melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda- benda yang ada di
sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya.Bagi siswa yang masih
mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti itu merupakan
tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau benda-benda nyata tidak
tersedia, bisa dipergunakan model.
b.
Membutuhkan Pengalaman Menyatukan .
Karena
ketunanetraan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk melihat keseluruhan dari suatu benda atau
kejadian, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan
bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Mempegunakan pembelajaran
gabungan, dimana siswa belajar menghubungkan antara mata pelajaran akademis
dengan pengalaman kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk
memberikan pengalaman menyatukan.
c.
Membutuhkan Belajar sambil Bekerja.
Guru
hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk mempelajari suatu
keterampilan dengan melakukan dan mempraktekan keterampilan tersebut. Banyak
bidang yang terdapat dalam kurikulum inti yang diperluas, misalnya orientasi
dan mobilitas, dapat diperlajari dengan mudah oleh tunanetra apabila
mempergunakan pendekatan belajar sambil bekerja ini.
Semua
siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari
pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut, dan
mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat membantu siswa untuk
belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Tunanetra merupakan individu
yang mengalami suatu kerusakan pada bagian mata yang mengakibatkan individu
tersebut mengalami keterbatasan dalam fungsi penglihatan. Kerusakan pada bagian
mata ini seperti pada bagian bola mata, retina, kornea atau pada syaraf-syaraf
penglihatan. berdasarkan daya pnglihatan tuna netra
terbagi menjadi 3, yaitu tuna netra
ringan, tunanetra sedang, dan tunanetra berat. Sedangkan faktor penyebab tunanetra
yaitu faktor pre-natal, post natal, dan gaya hidup manusia. Para penyandang
tunanetra memiliki kesejahteraan psikologis yang cenderung mengalami penururun
secara spesifik, karena berkaitan dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal
relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial. Permasalahan
utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra terkait dengan
ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup,
diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain.
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini akan lebih bermakna apabila ada kritik dan saran untuk
perkembangan makalah sehingga mampu meningkatkan kualitas makalah lebih baik
DAFTAR
REFERENSI
Ardhi,
Widjaya. 2013. Seluk-beluk Tunanetra dan
Strategi Pembelajarannya. Yogyakarta:
JAVALITERA.
Crews,
J. & Campbell, V. A. (2004). Vision impairment and hearing loss among
community-dwelling older americans: Implications for health and functioning.
American Journal of Public Health, 94, 823-829.
Depkes
RI.2011. Undang-Undang N0. 19 Tahun 2011
Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Gardner,
J., & Harmon, T. (2002). Exploring resilience from parent’s perspective: A
qualitative study of six resilient mothers of children with intellectual
disability. Australian Social Work, 55(1), 60-68
Hadi,
Purwaka.2005. Kemandirian Tunanetra.
Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Harimukthi,
Mega Tala. Kartika Sari Dewi. 2014. “Eksplorasi Kesejahteraan Psikologis Individu Dewasa Awal Penyandang Tunanetra”. Jurnal Psikologi
Undip. Vol. 13. No. 1. Hal (64-77).
Mangunsong,
F.1998. Psikologi dan Pendidikan Anak
Luar Biasa. Depok: LPSP3 Universitas Indonesia.
Mclivane,
J. M. & Reinhardt, J. P. (2001).
Interactive effect of support from family and friends in visually impaired
elders. The Journals of Gerontology, B series, Psychological Sciences and
Social Sciences, 56(6), 374-382.
Tilman,
M.O.R.1969. The Performance of Blind and
Sighted Children on the Wechler Intellegence Scale for Children: Interaction
Effect, Education on the Visualy Handicapped.
0 Comments