Makalah Lengkap Psikologi Kesehatan Tunanetra

TUGAS TERSTRUKTUR PSIKOLOGI KESEHATAN
TUNANETRA





BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kecacatan adalah berkurangnya suatu sistem atau disfungsi karena adanya kelainan/kehilangan di bagian tubuh seseorang yang secara objektif bisa dilihat maupun diukur. Misalnya tidak adanya tangan,
kelumpuhan pada bagian tubuh tertentu. Kecacatan ini bisa dialami pada seseorang yang bisa menimbulkan perilaku-perilaku yang berbeda dari individu yang lainnya, misalnya kerusakan pada otak yang menjadikan seseorang mengalami cacat mental, hiperkatif, buta, dan lain-lain (Mangunsong, 1998). Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan dalam berpartisipasi penuh.
Kelompok kami mengambil pokok bahasan kebutaan atau tunanetra. Tunanetra merupakan kelainan dalam indera penglihatan seseorang sehingga tidak bisa melihat yang menghambat dalam menerima informasi. Sardegna (2002) menjelaskan bahwa tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera penglihatannya tidak berfungsi seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra juga memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu tunanetra tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh individu awas. Keterbatasan tersebut dimungkinkan menghambat tugas-tugas perkembangannya.





BAB II
ANALISA MASALAH


A. Gambaran Kondisi Kesakitan
Tunanetra merupakan individu yang mengalami suatu kerusakan pada bagian mata yang mengakibatkan individu tersebut mengalami keterbatasan dalam fungsi penglihatan. Kerusakan pada bagian mata ini seperti pada bagian bola mata, retina, kornea atau pada syaraf-syaraf penglihatan. Kerusakan pada salah satu bagian mata ini mengakibatkan individu kehilangan fungsi penglihatan sepenuhnya. Karakteristik tunanetra menurut Tilman (1969) adalah memiliki tubuh yang baik tapi mengalami kelainan indera penglihatan yang kurang, kesulitan dalam menguasai keterampilan sosial dalam umpan balik melalui penglihatan. Secara fisik seseorang tunanetra bisa dilihat dari kondisi mata yang berbeda dari orang yang normal lainnya, mempunyai kepekaan pendengaran dan perabaan yang baik, sikap tubuh yang kurang sigap, agak kaku, dan sering memiliki perilaku stereotype seperti suka menggosok-gosok mata atau suka menghentak-hentakan kaki. Menurut Rogow dalam Hadi (2005) menyatakan bahwa seseorang tunanetra memiliki kesulitan gerak seperti koordinasi yang buruk terhadap keseimbangan postur tubuh yang buruk, kondisi otot-otot dalam menstimulus, dan lambatnya bergerak dan gerak yang buruk. Jadi para penyandang tunanetra memiliki kondisi kesakitan yang jauh lebih parah karena diasingkan oleh orang lain karena berbeda dari yang lainnya.
B. Teori Perilaku Yang Mendukung Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera penglihatannya tidak berfungsi seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra juga memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu tunanetra tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh individu awas. (Harimukthi, 2014). Sedangkan menurut WHO tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatnnya.
Teori yang mendukung perilaku atau gaya hidup seseorang yang mendukung penderita tunanetra adalah teori H.L Blum yang menyebutkan bahwa status derajat kesehatan masyarakat seseorang setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu  gaya hidup, faktor lingkungan, faktor genetik dan faktor pelayanan kesehatan.
Menurut (Ardhi,  2013) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tuna netra yang termasuk dalam faktor genetik, antara lain:
1.      Faktor Pre-natal
Pada faktor ini sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan  dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan akibat faktor  keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina  yang umumnya adalah keturunan. Penyakit seperti ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Ketunanetraan pada waktu pre-natal juga dapat disebabkan oleh: Gangguan waktu hamil, penyakit menahun seperti TBC, yang dapat merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan. Infeksi karena terkena rubella atau cacar air, juga dapat menyebabkan kerusakan pada mata janin.
2.      Faktor Post-natal
Kerusakan yang terjadi pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras. Namun hal ini juga dapat terjadi apabila ibu memiliki penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe dapat menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya lihat. Ketunanetraan pada saat post-natal juga dapat disebabkan antara lain:
A.      Xeropthalmia: yaitu penyakit mata yang disebabkan oleh kekurangan vitamin A.
B.       Trachoma: yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
C.      Catarac  : penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.
D.      Glaucoma: bertambahnya cairan dalam bola mata.
E.       Diabetik retinopathy : gangguan yang terjadi pada retina karena diabetes.
F.       Macular degeneration : keadaan dimana retina yang baik  semakin memburuk.
G.      Kecelakaan    : masuknya benda tajam atau bahan kimia kedalam mata.
Salah satu faktor gaya hidup yang mendukung terjadinya tunanetra adalah salah satu perilaku sering meminum minuman keras yang berlebihan. Karena setelah dilakukan penilitian dalam minuman keras oplosan mengandung senyawa Metanol. Menurut Dokter Ahli Mata (Perdami) RSUD Dr Sardjito Yogyakarta “keracunan metanol sangat berbahaya karena jika Metanol masuk ke dalam tubuh akan langsung menjadi racun atau asam format. Selain mengganggu sistem tubuh, dalam beberapa jam Metanol langsung meracuni syaraf mata. Kandungan senyawa yang terdapat dalam minuman keras oplosan anatarnaya yaitu, Metanol dan bahkan ada yang dicampur obat nyamuk atau obat serangga kemasan, bahkan ada yang dicampur serbuk arang hitam yang biasanya terdapat dalam batre (Harimukthi, 2014).
a. Klasifikasi Tunanetra Berdasarkan Daya Penglihatan
Menurut (Ardhi,  2013) berdasarkan daya pnglihatan tuna netra terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision): yakni mereka yang memiliki hambatan penglihatan namun masih dapat mengikuti program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.

2. Tunanetra setengah Berat (partialy sighted): yaitu mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, mereka mampu membaca dan mengikuti pembelajaran apabila menggunakan kacamata pembesar  atau mampu membaca tulisan yang di cetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind): yakni mereka yang sama sekali
tidak mampu melihat.
C. Kondisi Psikologis Penderita
Permasalahan utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra terkait dengan ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup, diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain. Dampak lain dari hilangnya penglihatan pada individu dewasa awal adalah perasaan kehilangan kemampuan untuk mengikuti aturan sosial yang berlaku di masyarakat (Crews & Campbell, 2004). Ketakutan menghadapi kehidupan masa depan berkaitan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Selama ini tunanetra di Indonesia banyak kehilangan hak-haknya. Hak yang hilang berupa hak menggunakan alat transportasi umum, hak memperoleh informasi, dan hak memperoleh pekerjaan (Medan Bisnis, 2011).
Para penyandang tunanetra menunjukkan penurunan kesejahteraan psikologis yang secara spesifik berkaitan dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial (Mclivane & Reinhardt, 2001; Pinquart & Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka cenderung mengalami stres lebih tinggi, tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah, kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun (Gardner & Harmon, 2002). Bahkan apabila dibandingkan dengan populasi normal, para penyandang tunanetra cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih rendah. Diungkapkan pada studi yang sama, pada populasi tunanetra di Eropa, terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam menurunkan kesejahteraan individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005), sedangkan perbandingan antara populasi tunanetra bawaan (congenital blind) dan tunanetra setelah dewasa (late blind) dijelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dan resiliensi late blind cenderung lebih rendah (Zeeshan & Aslam, 2013). Padahal, Mills (2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi yang dialami individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang lebih baik, memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan menggambarkan kualitas hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).
Ryff (dalam Papalia & Feldman, 2002) menyebutkan ada enam dimensi kesejahteraan, yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan personal (personal growth). Konstruk psychological well-being disusun berdasarkan teori perkembangan sepanjang hidup, yang berarti bahwa kondisi kesejahteraan psikologis individu bersifat dinamis (Ryff dalam Diener dkk, 2009). Pengalaman dalam kehidupan yang beragam dan unik akan memberikan pengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis secara terus-menerus. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman dalam kehidupan pasca menjadi tunanetra juga akan berpengaruh pada kondisi kesejahteraan psikologis. Penelitian Halim dan Wirawan (2009) mengungkapkan hasil bahwa individu yang menderita penyakit kronis dan menjalani operasi serta pengobatan hingga kehilangan salah satu fungsi tubuh di usia dewasa akan memiliki peningkatan dalam pemahaman kesejahteraan psikologis. Keterbatasan fisik yang dimiliki individu akan meningkatkan kondisi kesejahteraan psikologis karena perubahan fungsi fisik berbanding lurus dengan peningkatan keyakinan terhadap Tuhan. Perubahan kondisi fisik mengubah pola pikir individu yang umumnya menjadi lebih positif dan memahami kondisi fisik yang sekarang, sehingga tingkat kesejahteraan psikologis individu menjadi tinggi dan meningkat. Selain itu, Zhong dkk (2013) mengungkapkan bahwa penyandang tunanetra dewasa yang berusaha mencari tujuan dan makna hidupnya, serta lebih memiliki keyakinan dan partisipasi religius cenderung lebih sejahtera dan mampu mengatasi depresinya.
D. Pengelolaan Penyakit
Pengelolaan penyakit :
1. Karakteristik Kognitif 
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan  low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi  keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini: 
a.              Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika seorang anak  mengalami ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan  mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi bagaimanapun indera-indera tersebut tidak dapat secara cepat dan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan segera melalui penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke kesuluruhan, dan orang tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh (misalnya bintang, dan sebagainya), terlalu besar (misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu rapuh (misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau membahayakan (misalnya api, dan  sebagainya) untuk diteliti dengan perabaan.
b.               Kemampuan untuk berpindah tempat.
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang lainnya, anak tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.Interaksi dengan lingkungan. Jika anda berada di suatu tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orang-orang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tetap tidak utuh. 
2. Karakteristik Akademik 
Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda membaca atau menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak seperti itu sebagai gantinya mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca  dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat. 
3. Karakteristik Sosial dan Emosional 
Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan sehari-hari sekarang ini. Apakah seseorang mengajarkan kepada anda bagaimana anda  harus melihat kepada lawan bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain, bagaimana anda menggerakan tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, atau bagaimana anda melakukan ekspresi wajah ketika melakukankomunikasi nonverbal?
Dalam hal seperti itu mungkin jawabannya tidak. Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat. 
4.  Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada  perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya. Apabila hal ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku pasif. 
Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Sebagai contoh mereka sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial.
Biasanya para ahli mencoba mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
5. Pembelajaran bagi Anak dengan Ketunanetraan
Pembelajaran yang terbaik bagi siswa tunanetra adalah yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia. Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan. 
Pembelajaran dalam kurikulum Inti yang Diperluas. Para ahli mengemukakan, bahwa tunanetra mempunyai dua perangkat kebutuhan kurikulum: pertama adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; keduaadalah yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya yaitu kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir. Para ahli pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam setting inklusi, mungkin akan dihadapkan dengan dilema apa yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk mendukung keberhasilannya berada di sekolah umum. 
6. Mempergunakan Prinsip-prinsip Metoda Khusus.
Siswa tunanetra hendaknya diberikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus bagi mereka. Guru umum biasanya lebih menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu tidak sesuai dengan tunanetra. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda khusus untuk membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan: 
a. Membutuhkan Pengalaman Nyata. 
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda- benda yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya.Bagi siswa yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti itu merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau benda-benda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model. 
b. Membutuhkan Pengalaman Menyatukan . 
Karena ketunanetraan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk  melihat keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Mempegunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan pengalaman menyatukan.
c. Membutuhkan Belajar sambil Bekerja. 
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan mempraktekan keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat diperlajari dengan mudah oleh tunanetra apabila mempergunakan pendekatan belajar sambil bekerja ini.
Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut, dan mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat membantu siswa untuk belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum.

BAB III
KESIMPULAN

A.       Kesimpulan
Tunanetra merupakan individu yang mengalami suatu kerusakan pada bagian mata yang mengakibatkan individu tersebut mengalami keterbatasan dalam fungsi penglihatan. Kerusakan pada bagian mata ini seperti pada bagian bola mata, retina, kornea atau pada syaraf-syaraf penglihatan. berdasarkan daya pnglihatan tuna netra terbagi menjadi 3, yaitu tuna netra ringan, tunanetra sedang, dan tunanetra berat. Sedangkan faktor penyebab tunanetra yaitu faktor pre-natal, post natal, dan gaya hidup manusia. Para penyandang tunanetra memiliki kesejahteraan psikologis yang cenderung mengalami penururun secara spesifik, karena berkaitan dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial. Permasalahan utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra terkait dengan ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup, diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain.

B.       Saran
Dalam penulisan makalah ini akan lebih bermakna apabila ada kritik dan saran untuk perkembangan makalah sehingga mampu meningkatkan kualitas makalah lebih baik





DAFTAR REFERENSI
Ardhi, Widjaya. 2013. Seluk-beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya.         Yogyakarta: JAVALITERA.
Crews, J. & Campbell, V. A. (2004). Vision impairment and hearing loss among community-dwelling older americans: Implications for health and functioning. American Journal of Public Health, 94, 823-829.
Depkes RI.2011. Undang-Undang N0. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Gardner, J., & Harmon, T. (2002). Exploring resilience from parent’s perspective: A qualitative study of six resilient mothers of children with intellectual disability. Australian Social Work, 55(1), 60-68
Hadi, Purwaka.2005. Kemandirian Tunanetra. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Harimukthi, Mega Tala. Kartika Sari Dewi. 2014. “Eksplorasi Kesejahteraan    Psikologis Individu  Dewasa Awal Penyandang Tunanetra”. Jurnal            Psikologi Undip. Vol. 13. No. 1. Hal (64-77).
Mangunsong, F.1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Depok: LPSP3 Universitas Indonesia.
Mclivane, J.  M. & Reinhardt, J. P. (2001). Interactive effect of support from family and friends in visually impaired elders. The Journals of Gerontology, B series, Psychological Sciences and Social Sciences, 56(6), 374-382.
Tilman, M.O.R.1969. The Performance of Blind and Sighted Children on the Wechler Intellegence Scale for Children: Interaction Effect, Education on the Visualy Handicapped.





Load disqus comments

0 Comments