Makalah Penyakit Kolera Lengkap!

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
“PENYAKIT KOLERA”

BAB I
PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang


Kolera adalah penyakit infeksi usus yang dapat menyebabkan diare yang berat. Nama kolera berasal dari bakteri penyebab penyakit ini, yaitu Vibrio cholerae. Penyakit kolera jika tidak mendapat penanganan segera dapat menyebabkan kematian. Persebaran penyakit kolera di dunia pada tahun 2017 adalah tahun yang bersejarah untuk kolera, karena setelah penemuan pertama pada penyakit kolera pada tahun 1817 kini kembali mengalami peningkatan yang signifikan. Kolera menyebabkan kematian sebanyak 2261 orang di Yaman, 1190 orang di kongo, dan 1007 di Somalia, serta di negara Afrika yang lain (WHO,2018).



Read more

Makalah Penyakit Kusta Terbaru!

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULAIH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
“PENYAKIT KUSTA”


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
1.       Distribusi Penyakit Kusta di Dunia
Tabel 1. Situs kusta menurut regional WHO pada tahun 2015
No
Regional WHO
Jumlah kasus baru yang ditemukan
Case Detection Rate
Jumlah kasus kusta terdaftar awal tahun 2015
Prevalensi awal tahun 2015
1
Afrika
20.004
2,6
20.564
0.27
2
Amerika
28.806
3,2
27.955
0,31
3
Mediterania timur
2.167
0,34
2.865
0,05
4
Asia Tenggara
156.118
8,1
117.451
0,61
5
Pasifik Barat
3.645
0,2
5.733
0,03
6
Eropa
18
0,004



Total
210.758
3,2
174.608
0,29
Sumber data: WHO, Weekly Epidemiological Report,  September 2016
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758. berdasarkan data di atas jumlah paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118) diikuti oleh Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada di regional lain (www.who.int, Leprosy Fact sheet, update januari 2018)

Seperti terlihat pada tabel diatas, terdapat 14 negara yang melaporkan 1000 atau lebih kaus baru selama tahun 2015. Empat belas Negara ini mempunyai kontribusi 94,89% dari seluruh kasus baru di duni. Dari tabel diatas terlihat bahwa secara global terjadi penurunan kasus baru, akan tetapi beberapa Negara seperti Bangladesh, Kongo, Ethiopia, dan Indonesia mengaalami peningkatan kasus baru. Selain itu, Mozambiq yang pada tahun 2013 dan 2014 sudah tidak memiliki kasus, kembali memiliki jumlah kasus baru kusta ditahun 2015.

2.      Distribusi Penyakit Kusta di Indonesia
Indonesia telah mencapai eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kunta di Indonesia pada tanun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk, selain itu ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta dan terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR ( New Case detection: angka penemuan kasus baru) >10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1000 kasus.

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa di antara tahun 2015-2016 sebanyak 11 provinsi (32,35%) termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 23 provinsi lainnya (67,65%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hamper seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Selama periode 2015-2016 Jawa Timur merupakan satu-satunya provinsi di bagian Barat Indonesia dengan angka beban kusta tinggi. Kemudian pada tahun 2017 timur mengalami penurunan menjadi kategori angka beban kusta rendah sehingga hanya 10 provinsi yang memiliki kategori beban kusta tinggi.

B.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa itu penyakit kusta
2.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit kusta
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara penularan penyakit kusta
4.      Untu mengetahui tanda dan gejala yang disebabkan oleh penyakit kusta
5.      Untuk mengetahui bagaimana tindakan pengobatan dan cara pencegahannya


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Pengertian Penyakit Kusta
Penyakit kusta atau yang biasa dikenal dengan dengan Morbus Hansen atau lepra adalah infeksi kulit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (basil tahan asam). Infeksi penyakit kusta didapat melalui transmisi M. leprae dalam secret hidung dan ulkus kulit dari pasien lepromatosa melalui mukosa saluran pernapasan atau kulit yang luka. Infeksi ini menyerang saraf tepi dan kulit, kemudian saluran pernapasan atas, dan bias juga menyerang organ lain kecuali otak. Kusta adalah salah satu penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan kecacatan, mutilasi (misalnya terputusnya salah satu anggota gerak seperti jari), ulserasi (luka borok), dan lainnya. Infeksi kulit ini disebabkan karena adanya kerusakan saraf besar di wajah, anggota gerak, dan motorik, diikuti rasa baal yang disertai kelumpuhan otot dan pengecilan massa otot.  Terdapat derajat resistensi alamiah yang tinggi terhadap penyakit ini dan 90% orang yang terpajan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi. (White, T. Mayon, dkk, 2004)
M. leprae termasuk bakteri tahan asam yang bersifat Gram-positif. Kuman ini tidak membentuk spora, tidak bergerak dan mempunyai bermacam bentuk (pleomorfik). Morfologi bakteri ini mirip Mycobacterium tuberculosis kuman penyebab tuberculosis (TBC). M. leprae belum dapat dibiakkan pada medium buatan. (Soedarto, 2017).
B.     Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta atau Microbacterium Leprae yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Masa membelah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini menyebabkan salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2-5 tahun dan kebanyakan pasien mendapat infeksi sewaktu masa kanak-kanak.
  Kusta adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Microbacterium Leprae) yang primer menyerang syaraf tepid an yang sekunder menyerang kulit dan yang lain kecuali susunan syaraf pusat. Bila tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka penyakit ini akan berlanjut dan bisa menyebabkan kecacatan (Suparni, Siti Fadilah. 2008).
C.     Patofisiologi
Saluran napas bagian atas dan kulit dari penderita tipe lepromatos telah terbukti merupakan sumber keluarnya M.Leprae.  kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Kerokan hidung dari penderita tipe Lapromatosa yang tidak diobati menunjukan jumlah kuman sebesar 104 -1010 setelah keluar dari mukosa hidung dalam kondisi tropis kuman kusta dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia sampai dengan 9 hari (Depkes RI, 2007)
D.     Cara Penularan            
Kusta atau lepra hanya dapat ditularkan melalui kontak erat dalam waktu lama dengan penderita lepra yang berada pada stadium reaktif. Penularan ini sering terjadi di lingkungan keluarga, misalnya antara ibu penderita lepra dengan anaknya atau suaminya. Anak-anak lebih sering terinfeksi kuman lepra disbanding orang dewasa. (Soedarto, 2017). Hal ini juga dimungkinkan terjadi jika seseorang terpapar cairan hidung orang yang mengalami kusta. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lender hidung yang dikeluarkan melalui lender hidung pada klien kusta yang tidak diobati, dan basil tersebut dapat hidup selamatujuh hari pada lender hidung yang kering (Chin, 2000). Penularan kusta juga dapat terjadi melalui kulit yakni kontak langsung yang lama dan erat. Selian itu ulkus kulit pada klien kusta tipe multibacillary juga dapat menjadi sumber penyebaran basil (Chin, 2000).
            Menurut Manjoer (dalam Sutanto et al., 2013) M.laprae sering berkembang pada tubuh manusia yang mempunyari suhu lebih rendah, seperti daerah akral dan vaskularisasi yang sedikit. Jaringan tubuh yang dingin tersebut antara lain area superfisial termasuk kulit, saraf tepi, hidung, laring, faring, mata, dan testis (Jawets, dalam Sutanto et al., 2013). M. Lepra yang terdapat dalam secret hidung dan ulkus kulit dari pasien lepromatosa kemungkinan dapat masuk melalui saluran pernapasan atas dan juga melalui kulit yang terluka (Mandala et al,. 2018).

D.    Gejala
Masa inkubasi lepra berlangsung lama, antara beberapa minggu sampai 12 tahun. Kelainan kulit merupakan gejala pertama yang sering dijumpai. Lepra indeterminate merupakan manifestasi paling awal, tampak pada sebagian kecil pasien: lesi kecil pucat pada bagian tubuh manapun, tanpa gangguan sensorik, dan menyembuh secara spontan. Pasien lain mengalami salah di bawah ini (White, T. Mayon, dkk, 2004) :
1.      Lepra tuberkuloid
Pada lepra tuberkuloid gejala awal yang tampak berupa kelainan sensorik, kelainan sensorik dan kelainan trofik pada alat gerak penderita. Kelainan kulit pada lepra tuberkuloid berbeda jelas dari kulit normal di sekitarnya. Lesi kulit lepra tuberkuloid tidak peka terhadap rasa nyeri dan rasa raba.(Soedarto, 2017)
2.      Lepra lepromatus
Gejala lepra jenis lepromatus diawali dengan terjadinya macula pre-lepromatus berupa eritema dengan batas tidak jelas dengan kulit normal di sekitarnya. Lesi berkembang menjadi macula lepromatus yang difus dan infiltrative dan terutama mula-mula terbentuk di daerah wajah dan lobus telinga. Lepra lepromatus dapat juga berlangsung akut dengan demam berulang, nyeri sepanjang saraf perifer, lalu timbul kelainan kulit yang segera menghilang kembali. Kerusakan saraf perifer menimbulkan gangguan gerak otot dan kelemahan otot disertai hilangnya kemampuan sensorik dan rasa raba. Rasa tebal atau hilangnya rasa raba terutama terjadi pada lengan, tangan dan kaki. Penderita lepra dapat kehilangan fungsi tangan dan kakinya. (Soedarto, 2017)
3.      Lepra borderline
Lepra borderline berada di Antara tuberkuloid dan lepromatosa dengan gambaran klinis campuran. Kesadaran penyakit tidak stabil dan dapat berubah ke arah kedua tipe tersebut. (White, T. Mayon, dkk, 2004)
E.     Diagnosis
Diagnosis lepra ditegakkan bila pasien memiliki satu atau lebih manifestasi berikut :
-         Lesi kulit hipopigmentasi atau kemerahan.
-         Keterlibatan saraf perifer, seperti yang ditunjukkan oleh penebalan dengan gangguan sensasi.
-         Apusan kulit positif untuk basil tahan asam.
-         Histologi yang khas pada biopsi kulit dan saraf bersifat diagnostik namun mungkin tidak dapat menyimpulkan. Metode imunohistopatologis dapat terbukti lebih dapat dipercaya.
-         PCR dan DNA sangat sensitif dan spesifik namun saat ini hanya digunakan sebagai alat penelitian. (White, T. Mayon, dkk, 2004)
Diagnosis lepra dipastikan apabila ditemukan kuman lepra pada pemeriksaan mikroskopis atas kerokan kulit. Selain itu, uji lepromin pada kulit dapat membantu menegakkan diagnosis lepra. .(Soedarto, 2017)
F.      Pengobatan
Berbagai obat telah digunakan untuk mengobati penderita lepra yaitu Diamino Difenil Sulfon (DDS, Dapsone), Rifampisin, Clofazimin (Lamprene) dan Thalidomide. Jika terjadi komplikasi sesuai dengan jenisnya dilakukan tindakan bedah ortopedik untuk memperbaiki fungsi gerak penderita atau trakeotomi jika terjadi gangguan pernapasan akibat kelumpuhan saraf terkait. (Soedarto, 2017)
Pengobatan lepra multibasiler (lepromatosa, lempromatosa bordeline) dilakukan dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan dapson selama 2 tahun, sedangkan pengobatan Lepra pausibasiler (tuberkuloid, tuberkuloid borderline) dilakukan dengan pemberian rifampisin dan dapson selama 6 bulan. Pengobatan harus dilanjutkan selama terjadinya tipe reaksi apapun yang ditambah dengan :
-         Tipe 1 : kortikosteroid
-         Tipe 2 : aspirin atau klorokuin (ringan) dan kortikosteroid dan talidomid (berat, namun tidak diberikan pada wanita usia reproduksi). (White, T. Mayon, dkk, 2004)

G.    Pencegahan
Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan :
1.      Periksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lainnya untuk tanda-tanda lepra.
2.      Vaksin Bacille Calmette-Guerin memberikan suatu perlindungan terhadap lepra. (White, T. Mayon, dkk, 2004)
3.      Kontak erat penderita lepra dengan keluarganya terutama pada waktu penderita berada pada stadium reaktif. Penderita lepra yang tidak diobati merupakan sumber penularan bagi orang lain.
4.      Memperbaiki lingkungan hidup dan kebersihan pribadi dapat mengurangi terjadinya penularan dan penyebaran lepra.(Soedarto, 2017).

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Penyakit kusta atau yang biasa dikenal dengan dengan Morbus Hansen atau lepra adalah infeksi kulit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (basil tahan asam). Penyakit kusta merupakan penyakit menahun. Karena kuman ini memerlukan waktu untuk membelah diri sekitar 12-21 hari. Hal ini menyebabkan salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2-5 tahun dan kebanyakan pasien mendapat infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Penularan kusta dapat terjadi melalui kulit yakni kontak langsung yang lama dan erat. Selian itu ulkus kulit pada klien kusta tipe multibacillary juga dapat menjadi sumber penyebaran basil. Basil dikeluarkan melalui lender hidung pada klien kusta yang tidak diobati. M.laprae sering berkembang pada tubuh manusia yang mempunyari suhu lebih rendah. Kelainan kulit merupakan gejala pertama yang sering dijumpai.






DAFTAR PUSTAKA
Suparni, Siti Fadilah. 2008. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Sodik, M. Ali. 2016. Leprosy Patients In Public Preception: A qualitative Study of Patient Confidence (dis) In the Community: Jurnal kesehatan vol 1. Semarang: Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Prilaku.
White, T. Mayon, dkk. 2004. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga.
Soedarto. 2017. Ensiklopedi Penyakit Infeksi. Jakarta: Sagung Seto
Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. [Serial online].
http://nyomankandun.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderfiles/manual_p2m.pdf. [13 Oktober 2015].
Supari, Siti Fadilah. 2008. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Read more

Makalah Chikungunya Lengkap dan Terbaru!

TUGAS TERSTRUKTUR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
“CHIKUNGUNYA”




BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
 Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh virus chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes africanus. Untuk pertama kalinya, virus chikungunya berhasil diidentifikasi di Afrika Timur pada tahun 1952. Dalam bahasa Swahili istilah chikungunya berarti kejang urat, berubah bentuk, atau bungkuk.  Suku Swahili adalah suku yang bermukim di Negara Tanganyika (sekarang Tanzania) di daerah dataran tinggi Makonde, provinsi Newala. Istilah lain dari penyakit ini adalah dengue, dyenga, abu rokap, dan demam tiga hari. Istilah dengue pertama kali digunakan di Kuba pada tahun 1928 karena kemiripan chikungunya dengan DBD (Widoyono, 2011).
Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk padat seperti Afrika, India dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini dilaporkan menyerang di Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya dan Uganda. Negara selanjutnya yang terserang adalah Thailand pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun 1964. Pada tahun 1973 chikungunya dilaporkan menyerang di Philipina dan Indonesia.
Demam chikungunya biasanya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu 2005-2006 telah terjadi 200 kematian yang dihubungkan dengan demam chikungunya di Pulau Reunion dan KLB yang tersebar luas di India, terutama Tamil dan Kerala. Ribuan kasus terdeteksi di berbagai daerah di India dan di negara-negara yang bertetangga dengan Sri Lanka setelah hujan lebat dan banjir pada Agustus 2006. Di selatan India (Negara bagian Kerala), 125 kematian dihubungkan dengan chikungunya. Pada Desember 2006, dilaporkan terjadi 3500 kasus di Maladewa dan lebih dari 60.000 kasus di Sri Lanka dengan kematian lebih dari 80 orang. Di Pakistan telah terjadi lebih dari 12 kasus chikungunya pada Oktober 2006. Data terbaru Juni 2007 telah mencatat terjadinya KLB yang menyerang sekitar 7000 penderita di Kerala, India (Widoyono, 2011).
Peta ini menyoroti penyebaran genotipe virus chikungunya di  Afrika Timur / Tengah / Selatan (ECSA) dan Asia di wilayah baru pada 2005-2014.
Di Indonesia kejadian penyakit chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda tahun 1973. Kemudian di tahun 1980 terjadi di Kuala Tungkal dan Jambi. Di tahun 1983 kasus menyebar di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta, di Yogyakarta persentase attack rate mencapai 70-90%. Laporan KLB chikungunya di Indonesia yang Dikonfirmasi Secara laboratorium adalah KLB tahun 1982 – 1985 dan KLB 2001-2002, setelah 20 tahun tenang tanpa insidens, chikungunya tampak meledak lagi.
Pada awal tahun 2001 KLB chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatra Selatan dan Aceh, Disusul Aceh pada bulan Oktober. Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi, Purworejo dan Klaten Jawa tengah tahun 2002. Di tahun 1973 selain kasus pertama di Samarinda juga ada kasus di Jakarta. Sejak Januari hingga Februari 2003, kasus chikungunya dilaporkan menyerang Bolaang Mongondow, Sulut (608 Orang), Jember (154 orang), dan Bandung (208 orang). Jumlah kasus chikungunya yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian (Laras, 2005).
Pada tahun 2008 terjadi kejadian KLB chikungunya di Jawa Tengah, yang ditemukan di 98 desa/ kelurahan dengan angka serangan kasus (attack rate) 1,46% dan Angka Kematian Kasus 0,18%. Angka kejadian ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2007), ditemukan kasus KLB chikungunya di 85 desa/ kelurahan dengan angka serangan (attack rate) 0,86% dan Angka Kematian Kasus nol persen. Selain itu, terdapat 17 kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi endemis chikungunya yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Grobogan, Kudus Pekalongan, Kota Pekalongan, Banyumas, Banjar Negara, Purbalingga, Purworejo, Kebumen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen dan Wonogiri (Pratama, 2017).

B.     Tujuan
1.      Mengetahui persebaran serta angka kejadian Chikungunya di dunia dan di Indonesia
2.      Mengetahui dan memahami pengertian Chikungunya
3.      Mengetahui dan memahami model penularan Chikungunya
4.      Mengetahui dan memahami gejala, tanda dan diagnosis Chikungunya
5.      Mengetahui dan memahami upaya-upaya pencegahan dan pengobatan Chikungunya






BAB II
PEMBAHASAN

Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Nama penyakit berasal dari bahasa Swahili yang berarti “yang berubah bentuk atau bungkuk”, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi yang hebat. Chikungunya tergolong arthropod-borne disease, yaitu penyakit yang disebarkan oleh arthropoda khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menggigit pada siang hari, sehingga kejadian penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita dan anak-anak dengan alasan mereka lebih banyak berada di rumah siang hari (Ramadhani, dkk, 2017).
Virus Chikungunya yang merupakan virus RNA yang mempunyai selubung termasuk grup A dari Arbovirus, Alphavirus dari family Togaviridae, dan dengan mikroskop electron menunjukkan gambaran virion yang sferis yang kasar atau berbentuk polygonal dengan diameter 40-45 nm (nanometer) dengan inti berdiameter 25-30 nm (Soedarto, 2003).
Transmisi virus berlangsung melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi oleh virus Arbo. Nyamuk yang terinfeksi oleh virus Arbo dapat mentransmisikan virus sepanjang nyamuk tersebut tetap terinfeksi. Mulai dari midgut ke kelenjar liur, berbagai organ nyamuk dan sel telah terbukti terinfeksi virus Arbo seperti trakea, otot, kardia serta kepala dan nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menyalurkan virus kepada generasi berikutnya melalui transovarian. Nyamuk anautogenous betina perlu makan darah dari induk semang vertebrata untuk proses produksinya. Oleh karena itu, nyamuk betina jenis ini dapat bertindak sebagai vektor. Induk semang yang terinfeksi virus Arbo seperti virus Dengue maupun Chikungunya selanjutnya menjadi sumber virus bagi nyamuk lain ketika menghisap darah induk semang tersebut. Transmisi didahului oleh replikasi biologis virus di dalam tubuh vektor arthropoda (Ekawasti dan Martindah, 2018).
Virus yang masuk ke tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah sampai timbul gejala seperti demam. Periode di mana virus beredar dalam sirkulasi darah induk semang disebut sebagai periode viremia. Apabila nyamuk yang belum terinfeksi menghisap darah induk semang dalam fase viremia, maka virus akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembang selama 8-10 hari sebelum virus Arbo siap ditularkan kepada induk semang lain. Virus di dalam darah selama fase viremia akan diperbanyak pada jaringan vektor arthropoda potensial dengan meningkatkan titer virus dalam kelenjar air liur, kemudian menggigit induk semang dengan memindahkan virus melalui air liur.
Rentang waktu yang di perlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan terutama temperatur sekitar. Virus dalam darah yang diisap juga masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk di dalam kelenjar air liurnya. Setelah nyamuk betina mencerna makanan darah yang terinfeksi, maka perlu masa inkubasi ekstrinsik 5-10 hari sebelum virus dilepaskan dalam air liur. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dipindahkan dari nyamuk ke induk semang lain (Ekawasti dan Martindah, 2018).
Menurut Widoyono (2011), penularan Chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB dipengaruhi oleh :
1.      Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.
2.      Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi.
3.      Perilaku masyarakat.
4.      Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya nyamuk.
Masa inkubasi dari demam chikungunya antara 2 sampai 4 hari. Viremia dijumpai kebanyakan dalam 48 jam pertama, dan dapat dijumpai sampai 4 hari pada beberapa pasien. Manifestasi penyakit berlangsung 3 sampai 10 hari. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan sendirinya. Namun rasa nyeri sendi mungkin masih tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan (Nasronudin, 2011).
Keluhan rasa nyeri hebat pada tulang dan persendian sehingga penderita selalu membungkuk, disertai demam tinggi mendadak selama 2-3 hari merupakan gejala klinis yang khas flu tulang. Selain itu penderita juga mengeluh sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, dan kadang-kadang demam chikungunya dapat menimbulkan perdarahan ringan berupa bintik-bintik merah di badan dan tangan mirip demam berdarah dengue. Mata penderita tampak merah karena pembuluh darah konjungtiva yang terlihat nyata. Rasa nyeri dapat masih terasa sampai berbulan-bulan sesudah penderita sembuh dari sakitnya. Pada demam chikungunya tidak terjadi rencatan (syok) maupun kematian (Soedarto, 2010).
Chikungunya dicurigai bila seseorang menderita demam mendadak, dengan beberapa gejala sakit sendi, sakit kepala, sakit pinggang/punggung dan rush (ruam kulit) serta dalam 1 minggu terakhir berada di daerah terjangkit chikungunya (Nasronudin, 2011).
Menurut Widoyono (2011), definisi kasus chikungunya terdiri dari :
1.      Kasus tersangka
Kasus ini ditandai dengan gejala klinis seperti yang telah disebutkan di atas, mulai dari demam mendadak hingga fotofobia.
2.      Kasus probable
Ini merupakan gejala pada kasus tersangka, ditambah dengan hasil laboratorium serologi yang positif dari sampel darah tunggal yang diambil pada fase akut maupun fase penyembuhan
3.      Kasus confirm
Ini merupakan kasus probable dan salah dari hal berikut :
·        Peningkatan titer antibodi 4 kali paa pasangan sampel serum darah
·        Antibodi IgM positif
·        Isolasi virus
·        Hasil pemeriksaan RT-PCR positif asam nukleat virus chikungunya
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis, dengan beban darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan. Pada pemeriksaan hematologi rutin dapat dijumpai kadar hemoglobin yang normal, trombositopenia, leukopenia, atau leukositosis, relatif limfositosis pada hitung jenis dan peningkatan laju endap darah (LED). Pemeriksaan kimia klinis menunjukkan fungsi hati yang bisa terganggu apabila terjadi hepatomegali yang ditandai dengan SGOT/SGPT dan bilirubin direk atau total yang meningkat (Widoyono, 2011).
Pemeriksaan serologi yang lebih pasti dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT), ELISA, Hemaglutinase Inhibisi (HI), dan Immunofluorescent Assay (IFA) untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memeriksa materi genetik virus (Widoyono, 2011).
Pencegahan chikungunya ditujukan untuk mengendalikan nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk. Pada saat ini belum ada vaksin di pasaran untuk mencegah chikungunya. Tindakan pencegahan chikungunya di daerah dimana terdapat nyamuk aedes aegypti adalah menghilangkan tempat dimana nyamuk dapat meletakkan telurnya (Nasronudin, 2011).
Menurut Widoyono (2011), upaya pengendalian chikungunya terdiri dari :
1.         Pencegahan gigitan nyamuk
Dilakukan dengan pemasangan kelabu, penggunaan kasa antinyamuk, dan pemakaian obat nyamuk oles, bakar, atau semprot.
2.         Pemberantasan jentik
Nyamuk Aedes sp. Akan bertelur di permukaan air yang jernih, seperti tempat penampungan air, vas atau pot bunga, air buangan dispenser, penampungan air AC, dan tempat minum burung.
Pemberantasan jentik dibagi menjadi 3 cara, yaitu :
·          Fisik, dengan  M plud
·          Biologi, dengan menebar ikan pemakan jentik di tempat penampungan air
·          Kimiawi, dengan pemberian larvasida (pembasmi larva).
3.         Pemberantasan nyamuk
Dilakukan untuk memutus rantai penularan dengan penyemprotan (fogging) massal menggunakan insektisida cair 2 kali dengan selang waktu 1 minggu.
Pengobatan terhadap penderita hanya ditujukan untuk mengurangi keluhan rasa sakit. Karena belum ada vaksin dan obat untuk virus chikungunya, maka pengobatan yang diberikan meliputi :
1.      Pengobatan suportif
Istirahat tirah baring dilakukan untuk mempercepat penyembuhan, bersama dengan penambahan vitamin yang meningkatkan daya tahan tubuh. Penderita sebaiknya diberi minum yang cukup. Rehabilitasi dengan fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu dipertimbangkan.
2.      Pengobatan analgentik
Obat antipiretik atau analgesik non-aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit pada persendian serta mencegah kejang.
3.      Infus
Infus diberikan apabila perlu, terutama bagi penderita yang malas minum, ini berguna untuk menjaga keseimbangan cairan.



BAB III
KESIMPULAN

Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Transmisi virus berlangsung melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi oleh virus Arbo. Virus yang masuk ke tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah sampai timbul gejala seperti demam. Demam chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan jarang menimbulkan perdarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah artralgia yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh konjungtiva mata penderita tampak nyata, dan disertai demam mendadak selama 2-3 hari. Diagnosis penyakit chikungunya dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan laboratorium, yaitu adanya antibodi IgM dan IgG dalam darah. Untuk tindakan pencegahan dilakukan pemberantasan telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Belum ada obat anti virus yang dapat digunakan untuk memberantas virus virus chikungunya. Pengobatan yang diberikan pada penderita terutama ditujukan untuk meredakan demam dan rasa sakit tulang, sendi, dan nyeri otot yang menjadi keluhan utamanya.



DAFTAR PUSTAKA

Ekawasti, Fitrine, and Eny Martindah. 2018. "Vector Control of Zoonotic Arbovirus Disease in Indonesia”. WARTAZOA. Vol. 26 No. 4 Hlm. 151-162.
Laras, D. 2005. Tracking The Re-Emerging Of Epidemic Chikungunya Virus In Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg, 28-41.
Nasronudin. 2011. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang edisi kedua. Surabaya : Airlangga University Press.
Pratama, Agustine Dewi. 2017. “Analisis Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik Kejadian Penyakit Chikungunya.” HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development). Vol. 1 Nomor 3: 11-20.
Ramadhani, Taufik, Hasmiwati Hasmiwati, and Yenita Yenita. 2017. "Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Masyarakat Terhadap Pencegahan Penyakit Chikungunya dan Vektornya di Nagari Saniang Baka, Kabupaten Solok." Jurnal Kesehatan Andalas.Vol. 6 Nomor 2 : 245-252.
Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Soedarto. 2010. Virologi klinik. Jakarta: Sagung Seto.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Semarang: Penerbit Erlangga.
Zeller, Herve, Wim Van Bortel, and Bertrand Sudre. 2016. "Chikungunya: its history in Africa and Asia and its spread to new regions in 2013–2014." The Journal of infectious diseases214.suppl_5 : S436-S440.


Read more