TUGAS
TERSTRUKTUR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
“CHIKUNGUNYA”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue
yang disebabkan oleh virus chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes africanus. Untuk pertama kalinya, virus chikungunya berhasil
diidentifikasi di Afrika Timur pada tahun 1952. Dalam bahasa Swahili istilah
chikungunya berarti kejang urat, berubah bentuk, atau bungkuk. Suku Swahili adalah suku yang bermukim di Negara
Tanganyika (sekarang Tanzania) di daerah dataran tinggi Makonde, provinsi
Newala. Istilah lain dari penyakit ini adalah dengue, dyenga, abu rokap, dan demam tiga hari. Istilah dengue pertama kali digunakan di Kuba
pada tahun 1928 karena kemiripan chikungunya dengan DBD (Widoyono, 2011).
Chikungunya
tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk padat seperti Afrika,
India dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini dilaporkan menyerang di Zimbabwe,
Kongo, Angola, Kenya dan Uganda. Negara selanjutnya yang terserang adalah
Thailand pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun
1964. Pada tahun 1973 chikungunya dilaporkan menyerang di Philipina dan
Indonesia.
Demam
chikungunya biasanya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu
2005-2006 telah terjadi 200 kematian yang dihubungkan dengan demam chikungunya
di Pulau Reunion dan KLB yang tersebar luas di India, terutama Tamil dan
Kerala. Ribuan kasus terdeteksi di berbagai daerah di India dan di
negara-negara yang bertetangga dengan Sri Lanka setelah hujan lebat dan banjir
pada Agustus 2006. Di selatan India (Negara bagian Kerala), 125 kematian
dihubungkan dengan chikungunya. Pada Desember 2006, dilaporkan terjadi 3500
kasus di Maladewa dan lebih dari 60.000 kasus di Sri Lanka dengan kematian
lebih dari 80 orang. Di Pakistan telah terjadi lebih dari 12 kasus chikungunya
pada Oktober 2006. Data terbaru Juni 2007 telah mencatat terjadinya KLB yang
menyerang sekitar 7000 penderita di Kerala, India (Widoyono, 2011).
Peta
ini menyoroti penyebaran genotipe virus chikungunya di Afrika Timur
/ Tengah / Selatan (ECSA) dan Asia di wilayah baru pada 2005-2014.
Di
Indonesia kejadian penyakit chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda
tahun 1973. Kemudian di tahun 1980 terjadi di Kuala Tungkal dan Jambi. Di tahun
1983 kasus menyebar di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta, di Yogyakarta
persentase attack rate mencapai 70-90%. Laporan KLB chikungunya di
Indonesia yang Dikonfirmasi Secara laboratorium adalah KLB tahun 1982 – 1985
dan KLB 2001-2002, setelah 20 tahun tenang tanpa insidens, chikungunya tampak
meledak lagi.
Pada awal
tahun 2001 KLB chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatra Selatan dan Aceh,
Disusul Aceh pada bulan Oktober. Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi,
Purworejo dan Klaten Jawa tengah tahun 2002. Di tahun 1973 selain kasus pertama
di Samarinda juga ada kasus di Jakarta. Sejak Januari hingga Februari 2003,
kasus chikungunya dilaporkan menyerang Bolaang Mongondow, Sulut (608 Orang),
Jember (154 orang), dan Bandung (208 orang). Jumlah kasus chikungunya yang
terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian (Laras,
2005).
Pada tahun
2008 terjadi kejadian KLB chikungunya di Jawa Tengah, yang ditemukan di 98
desa/ kelurahan dengan angka serangan kasus (attack rate) 1,46% dan
Angka Kematian Kasus 0,18%. Angka kejadian ini meningkat jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (2007), ditemukan kasus KLB chikungunya di 85 desa/
kelurahan dengan angka serangan (attack rate) 0,86% dan Angka Kematian Kasus
nol persen. Selain itu, terdapat 17 kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi
endemis chikungunya yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Grobogan, Kudus
Pekalongan, Kota Pekalongan, Banyumas, Banjar Negara, Purbalingga, Purworejo,
Kebumen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen dan Wonogiri (Pratama, 2017).
B. Tujuan
1.
Mengetahui
persebaran serta angka kejadian Chikungunya di dunia dan di Indonesia
2.
Mengetahui dan
memahami pengertian Chikungunya
3.
Mengetahui dan
memahami model penularan Chikungunya
4.
Mengetahui dan
memahami gejala, tanda dan diagnosis Chikungunya
5.
Mengetahui dan
memahami upaya-upaya pencegahan dan pengobatan Chikungunya
BAB II
PEMBAHASAN
Chikungunya
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk. Nama penyakit berasal dari bahasa Swahili yang
berarti “yang berubah bentuk atau bungkuk”, mengacu pada postur penderita yang
membungkuk akibat nyeri sendi yang hebat. Chikungunya tergolong arthropod-borne
disease, yaitu penyakit yang disebarkan oleh arthropoda khususnya nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menggigit pada
siang hari, sehingga kejadian penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita dan
anak-anak dengan alasan mereka lebih banyak berada di rumah siang hari
(Ramadhani, dkk, 2017).
Virus
Chikungunya yang merupakan virus RNA yang mempunyai selubung termasuk grup A
dari Arbovirus, Alphavirus dari family Togaviridae, dan dengan mikroskop
electron menunjukkan gambaran virion yang sferis yang kasar atau berbentuk
polygonal dengan diameter 40-45 nm (nanometer) dengan inti berdiameter 25-30 nm
(Soedarto, 2003).
Transmisi virus
berlangsung melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi oleh virus Arbo.
Nyamuk yang terinfeksi oleh virus Arbo dapat mentransmisikan virus sepanjang
nyamuk tersebut tetap terinfeksi. Mulai dari midgut ke kelenjar liur, berbagai
organ nyamuk dan sel telah terbukti terinfeksi virus Arbo seperti trakea, otot,
kardia serta kepala dan nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menyalurkan
virus kepada generasi berikutnya melalui transovarian. Nyamuk anautogenous
betina perlu makan darah dari induk semang vertebrata untuk proses produksinya.
Oleh karena itu, nyamuk betina jenis ini dapat bertindak sebagai vektor. Induk semang yang
terinfeksi virus Arbo seperti virus Dengue maupun
Chikungunya selanjutnya menjadi sumber virus bagi
nyamuk lain ketika menghisap darah induk semang tersebut. Transmisi didahului oleh
replikasi biologis virus di dalam tubuh vektor arthropoda (Ekawasti dan Martindah, 2018).
Virus yang masuk
ke tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam
sirkulasi darah sampai timbul gejala seperti demam. Periode di mana virus
beredar dalam sirkulasi darah induk semang disebut sebagai periode viremia.
Apabila nyamuk yang belum terinfeksi menghisap darah induk semang dalam fase
viremia, maka virus akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembang selama 8-10
hari sebelum virus Arbo siap ditularkan kepada induk semang lain. Virus di
dalam darah selama fase viremia akan diperbanyak pada jaringan vektor
arthropoda potensial dengan meningkatkan titer virus dalam kelenjar air liur,
kemudian menggigit induk semang dengan memindahkan virus melalui air liur.
Rentang waktu
yang di perlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan
terutama temperatur sekitar. Virus dalam darah yang diisap juga masuk dalam
lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan memperbanyak diri dan tersebar di
berbagai jaringan tubuh nyamuk di dalam kelenjar air liurnya. Setelah nyamuk
betina mencerna makanan darah yang terinfeksi, maka perlu masa inkubasi
ekstrinsik 5-10 hari sebelum virus dilepaskan dalam air liur. Penularan ini
terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap
darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis) agar
darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dipindahkan
dari nyamuk ke induk semang lain (Ekawasti
dan Martindah, 2018).
Menurut
Widoyono (2011), penularan Chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB
dipengaruhi oleh :
1.
Perubahan iklim
dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.
2.
Mobilisasi
penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi.
3.
Perilaku
masyarakat.
4.
Sanitasi
lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya nyamuk.
Masa
inkubasi dari demam chikungunya antara 2 sampai 4 hari. Viremia dijumpai
kebanyakan dalam 48 jam pertama, dan dapat dijumpai sampai 4 hari pada beberapa
pasien. Manifestasi penyakit berlangsung 3 sampai 10 hari. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang
dengan sendirinya. Namun rasa nyeri sendi mungkin masih tertinggal dalam
hitungan minggu sampai bulan
(Nasronudin,
2011).
Keluhan
rasa nyeri hebat pada tulang dan persendian sehingga penderita selalu
membungkuk, disertai demam tinggi mendadak selama 2-3 hari merupakan gejala
klinis yang khas flu tulang. Selain itu penderita juga mengeluh sakit perut,
mual, muntah, sakit kepala, dan kadang-kadang demam chikungunya dapat
menimbulkan perdarahan ringan berupa bintik-bintik merah di badan dan tangan
mirip demam berdarah dengue. Mata penderita tampak merah karena pembuluh darah
konjungtiva yang terlihat nyata. Rasa nyeri dapat masih terasa sampai berbulan-bulan
sesudah penderita sembuh dari sakitnya. Pada demam chikungunya tidak terjadi
rencatan (syok) maupun kematian
(Soedarto,
2010).
Chikungunya
dicurigai bila seseorang menderita demam mendadak, dengan beberapa gejala sakit
sendi, sakit kepala, sakit pinggang/punggung dan rush (ruam kulit) serta dalam
1 minggu terakhir berada di daerah terjangkit chikungunya (Nasronudin, 2011).
Menurut Widoyono
(2011), definisi kasus chikungunya terdiri dari :
1. Kasus
tersangka
Kasus ini ditandai
dengan gejala klinis seperti yang telah disebutkan di atas, mulai dari demam
mendadak hingga fotofobia.
2. Kasus
probable
Ini merupakan gejala
pada kasus tersangka, ditambah dengan hasil laboratorium serologi yang positif
dari sampel darah tunggal yang diambil pada fase akut maupun fase penyembuhan
3. Kasus
confirm
Ini merupakan kasus
probable dan salah dari hal berikut :
·
Peningkatan titer
antibodi 4 kali paa pasangan sampel serum darah
·
Antibodi IgM positif
·
Isolasi virus
·
Hasil pemeriksaan
RT-PCR positif asam nukleat virus chikungunya
Pemeriksaan
laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis, dengan beban darah vena 5
cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan. Pada pemeriksaan hematologi
rutin dapat dijumpai kadar hemoglobin yang normal, trombositopenia, leukopenia,
atau leukositosis, relatif limfositosis pada hitung jenis dan peningkatan laju
endap darah (LED). Pemeriksaan kimia klinis menunjukkan fungsi hati yang bisa
terganggu apabila terjadi hepatomegali yang ditandai dengan SGOT/SGPT dan
bilirubin direk atau total yang meningkat (Widoyono, 2011).
Pemeriksaan
serologi yang lebih pasti dilakukan dengan Rapid
Diagnostic Test (RDT), ELISA, Hemaglutinase
Inhibisi (HI), dan Immunofluorescent
Assay (IFA) untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memeriksa materi genetik virus (Widoyono, 2011).
Pencegahan
chikungunya ditujukan untuk mengendalikan nyamuk dan menghindari gigitan
nyamuk. Pada saat ini belum ada vaksin di pasaran untuk mencegah chikungunya.
Tindakan pencegahan chikungunya di daerah dimana terdapat nyamuk aedes aegypti
adalah menghilangkan tempat dimana nyamuk dapat meletakkan telurnya (Nasronudin, 2011).
Menurut
Widoyono (2011), upaya pengendalian chikungunya terdiri dari :
1.
Pencegahan gigitan
nyamuk
Dilakukan dengan
pemasangan kelabu, penggunaan kasa antinyamuk, dan pemakaian obat nyamuk oles,
bakar, atau semprot.
2.
Pemberantasan jentik
Nyamuk
Aedes sp. Akan bertelur di permukaan
air yang jernih, seperti tempat penampungan air, vas atau pot bunga, air
buangan dispenser, penampungan air AC, dan tempat minum burung.
Pemberantasan
jentik dibagi menjadi 3 cara, yaitu :
·
Fisik, dengan M plud
·
Biologi, dengan menebar
ikan pemakan jentik di tempat penampungan air
·
Kimiawi, dengan
pemberian larvasida (pembasmi larva).
3.
Pemberantasan nyamuk
Dilakukan untuk memutus
rantai penularan dengan penyemprotan (fogging) massal menggunakan insektisida
cair 2 kali dengan selang waktu 1 minggu.
Pengobatan
terhadap penderita hanya ditujukan untuk mengurangi keluhan rasa sakit. Karena
belum ada vaksin dan obat untuk virus chikungunya, maka pengobatan yang
diberikan meliputi :
1. Pengobatan
suportif
Istirahat tirah baring
dilakukan untuk mempercepat penyembuhan, bersama dengan penambahan vitamin yang
meningkatkan daya tahan tubuh. Penderita sebaiknya diberi minum yang cukup.
Rehabilitasi dengan fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu dipertimbangkan.
2. Pengobatan
analgentik
Obat antipiretik atau
analgesik non-aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) diberikan untuk
mengurangi demam dan rasa sakit pada persendian serta mencegah kejang.
3. Infus
Infus diberikan apabila
perlu, terutama bagi penderita yang malas minum, ini berguna untuk menjaga
keseimbangan cairan.
BAB III
KESIMPULAN
Chikungunya
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk.
Transmisi virus berlangsung melalui gigitan nyamuk
betina yang terinfeksi oleh virus Arbo. Virus yang masuk ke tubuh induk semang
melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah sampai timbul
gejala seperti demam. Demam
chikungunya atau flu tulang (break-bone
fever) mempunyai gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun
lebih ringan dan jarang menimbulkan perdarahan. Keluhan utama yang dialami
penderita adalah artralgia yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu
pembuluh konjungtiva mata penderita tampak nyata, dan disertai demam mendadak
selama 2-3 hari. Diagnosis penyakit chikungunya dapat ditegakkan melalui
gambaran klinis dan laboratorium, yaitu adanya antibodi IgM dan IgG dalam darah.
Untuk tindakan pencegahan dilakukan pemberantasan telur, larva, pupa, dan
nyamuk dewasa. Belum ada obat anti virus yang dapat digunakan untuk memberantas
virus virus chikungunya. Pengobatan yang diberikan pada penderita terutama
ditujukan untuk meredakan demam dan rasa sakit tulang, sendi, dan nyeri otot
yang menjadi keluhan utamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ekawasti, Fitrine, and Eny Martindah. 2018. "Vector Control of Zoonotic Arbovirus Disease in
Indonesia”. WARTAZOA.
Vol. 26 No. 4 Hlm. 151-162.
Laras, D. 2005. “Tracking
The Re-Emerging Of Epidemic Chikungunya Virus In Indonesia”.
Trans R Soc Trop Med Hyg, 28-41.
Nasronudin. 2011. Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini dan Mendatang edisi kedua.
Surabaya : Airlangga University Press.
Pratama, Agustine
Dewi. 2017. “Analisis Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik Kejadian Penyakit
Chikungunya.” HIGEIA (Journal of Public
Health Research and Development). Vol. 1 Nomor 3: 11-20.
Ramadhani, Taufik,
Hasmiwati Hasmiwati, and Yenita Yenita. 2017. "Hubungan
Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Masyarakat Terhadap Pencegahan
Penyakit Chikungunya dan Vektornya di Nagari Saniang Baka, Kabupaten
Solok." Jurnal Kesehatan Andalas.Vol. 6 Nomor 2 : 245-252.
Soedarto. 2003. Zoonosis
Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Soedarto. 2009. Penyakit
Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Soedarto. 2010. Virologi klinik. Jakarta: Sagung Seto.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan & Pemberantasannya. Semarang: Penerbit Erlangga.
Zeller, Herve, Wim Van Bortel, and Bertrand
Sudre. 2016. "Chikungunya: its history in Africa and
Asia and its spread to new regions in 2013–2014." The Journal of
infectious diseases214.suppl_5 :
S436-S440.